Selamat Datang Di Web Komunikasi Mahasiswa Benai

Selamat datang di portal komunikasi pemuda dan mahasiswa Kecamatan Benai (IPMKB) Pekanbaru. Revolusi informasi memberikan kemudahan bagi setiap kita umumnya ataupun sebuah organisasi khususnya dalam berkomunikasi dan menyampaikan informasi yang cepat dan accessible. Portal Komunikasi ini dibuat semata hanya mensupport luasnya bidang gerak bagi IPMKB dalam mempromosikan agenda kegiatan kepada IPMKB'ers dimanapun berada. Terakhir admin berharap saran - saran dan masukan dari rekan - rekan sekalian terhadap kemajuan portal ini. Salam persahabatan & Selamat berjuang IPMKB'ers...!!!

IPMKB SEBAGAI GENERASI Civil of Responsibility oleh: Heri Indra Putra

Perguruan tinggi sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi yang menghimpun Mahasiswa sebagai peserta didik di dalamnya, memiliki tanggung jawab moral dalam menciptakan suatu kondisi yang dinamis bagi berlangsungnya suasana kondusif di kehidupan masyarakat. Betapa tidak, perguruan tinggi diharapkan akan mampu melahirkan para pemikir, insan cita dan cipta yang kelak akan memberikan input yang positif dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk menciptakan insan intelektual (mahasiswa) yang berkepribadian dan berdedikasi tinggi terhadap kepentingan masyarakat, bukan sosok mahasiswa dengan pemahaman yang fragmatis dan oportunis. Artinya perguruan tinggi sebagai tempat berlangsungnya “learning process” berfungsi juga sebagai wahana pembentukan pribadi mahasiswa sebagai “agent of change” dan “agent of social control” di tengah-tengah masyarakat. Sehingga perguruan tinggi selayaknya tidak hanya menyelenggarakan kegiatan akademis di ruang perkuliahan semata. Namun lebih dari itu, perguruan tinggi juga diharapkan mampu melahirkan insan-insan intelektual yang selain berwawasan luas dan visioner, juga memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat (Civil of Responsibility). Mahasiswa sebagai salah satu komponen pembentuk masyarakat harus senantiasa meningkatkan kapabilitasnya agar dapat memberikan kontribusi positif dalam masyarakatnya. Mahasiswa harus mampu mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat demi perubahan komunitas masyarakat yang lebih baik. Serta senantiasa merespon setiap dinamika yang terjadi secara arif serta mengarahkannya pada perkembangan komunitas mayarakat yang lebih “dewasa”. IPMKB adalah Ikatan Pemuda Mahasiswa Kecamatan Benai. IPMKB merupakan wadah untuk menampung dan mengembangkan kreatifitas dan aktifitas mahasiswa Kecamatan Benai yang ada di perguruan tinggi negeri maupun swasta serta pemuda Kecamatan Benai dimana pun berada, dan juga ikut memberi kontribusi pemikiran kontributif terhadap pengembangan dan pembangunan Kecamatan Benai khususnya dan Kabupaten Kuantan Singingi dan Provinsi Riau umumnya. Sejalan dengan tujuan dan cita-cita IPMKB didirikan, Yaitu agar kawan – kawan Pemuda dan Mahasiswa yang ada didalam wadah ini segera mendapatkan informasi yang berkembang di daerah dan saling bertukar pikiran serta meningkatkan sumber daya manusia. IPMKB berusaha melahirkan generasi yang berwawasan berintelektulitas tinggi sehingga siap terjun ketengah-tengah masyarakat. Dan juga diharapkan dapat membela hak-hak masyarakat Kecamatan Benai dan Kabupaten Kuantan Singingi dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemakmuran di Kecematan Benai dan Kabupaten Kuantan Singingi serta peka terhadap perkembangan zaman. Pergerakan mahasiswa selalu menemukan momentum yang berbeda dari tiap zaman, tiap waktu memiliki tantangan dan tekanan yang berbeda, namun disitu ada kesamaan motif, yaitu moralitas dan idealisme. Dua hal yang menjadi prinsip selama hidup, bukan sementara saat di kampus, manakala masih di bangku kuliah saja. Selama di kampus, bisa saja- atau umumnya-, metodenya kolektif, dan ketika sudah lulus, metodenya lebih bersifat individual. Hal krusial yang seharusnya dipikirkan adalah kaderisasi.Yang menarik, kalau dirunut kebelakang akar kata kaderisasi itu sendiri sesungguhnya tidak asli lokal. "Kader" adalah peng-Indonesiaan kata "cadre" kata Perancis yang berasal dari Italia "quadro" yang berasal dari Latin "quadrum" yang berarti segi empat atau bujur sangkar. Salah satu definisi atu arti kata "cadre" ini adalah "a nucleus or core group especially of trained personnel able to assume control and to train others" yang kelihatannya cocok dengan pengertian secara umum di Indonesia. Kaderisasi adalah proses pendidikan jangka panjang untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada seorang kader. Siapakah kader? Kader adalah anggota, penerus organisasi. Nilai-nilai apa? Nilai-nilai yang diyakini bersama sebagai pembentuk watak dan karakter organisasi. Organisasi, apapun itu mutlak mensyaratkan kaderisasi. Kecuali bila organisasi anda adalah organisasi diri sendiri, yang anggotanya anda sendiri. Organisasi terpimpin sekalipun, dimana si Ketua menjadi Ketua sepanjang hidupnya tetap saja membutuhkan regenerasi untuk rekan kerjanya. Sebuah organisasi dapat kita analogikan sebagai sebuah bangunan. Sebuah bangunan tentunya harus memiliki pondasi yang kuat agar bangunan tersebut dapat tetap kokoh. Dalam sebuah organisasi salah satu pondasi yang diprelukan adalah kaderisasi dan budaya organisasi. Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada di dalamnya dan mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigu (Turner,1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.. Sumber utama budaya organisasi pada awalnya adalah pemilik, pendiri dan/atau pemimpin yang pertama, karena mereka inilah yang pertama-tama menentukan misi, visi, strategi, filosofi, dan nilai-nilai yang dianut oleh organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model bagi terciptanya budaya organisasi yang akan berpengaruh terhadap usaha pencapaian tujuan organisasi IPMKB. Inefisiensi pengelolaan sebuah organisasi sering diawali dengan tidak atau kurang patuh dan konsistennya beberapa pengurus dalam melaksanakan tugas. Kesalahan dan kegagalan kerja yang terjadi sering sulit ditelusuri penyebabnya karena semua orang mencoba menjelaskan bahwa dirinya bukanlah pelaku dari sebuah proses yang gagal. Sebaliknya, keberhasilan dengan mudah diakui sebagai prestasi diri karena seseorang bisa menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut merupakan bagian dari ruang lingkup tugasnya. Sering kali sebuah proses dikerjakan oleh seseorang atau sebuah unit kerja yang secara struktur organisasi dan uraian tugas bukan pemilik dari proses tersebut (process owner), sebaliknya sering pula sebuah tugas tidak ada pemiliknya. Hal tersebut biasanya diakibatkan oleh kurangnya pengendalian dan terabaikannya pengawasan terhadap penerapan sistem dan prosedur tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama. Sehingga diperlukan perilaku IPMKB’ers yang mempunyai satu kesatuan komitmen dalam berbuat dan berfikir serta bertindak sesuai dengan kondisi masyarakat dan disiplin ilmu, profesionalitas, regenerasi dalam rangka mensukseskan pembangunan Kecamatan Benai.

08 Agustus 2008

Tradisi Pacu Jalur di Kuantan Singingi

Pacu Jalur adalah sejenis lomba dayung tradisional khas daerah Kuantan Singingi (Kuansing) yang hingga sekarang masih ada dan berkembang di Propinsi Riau. Lomba dayung ini menggunakan perahu yang terbuat dari kayu gelondongan yang oleh masyarakat sekitar juga sering disebut jalur. Upacara adat khas daerah Kuansing ini diselenggarakan setiap satu tahun sekali untuk merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 23—26 Agustus. Panjang perahu/jalur yang digunakan dalam lomba ini berkisar antara 25—40 meter dengan jumlah atlet 40—60 orang tiap perahu. Biasanya, festival ini diikuti oleh ratusan perahu dan melibatkan beribu-ribu atlet dayung, serta dikunjungi oleh ratusan ribu penonton baik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Asal Usul dan Perkembangan
Kuantan Singingi adalah sebuah daerah yang secara administratif termasuk dalam Provinsi Riau. Daerahnya banyak memiliki sungai. Kondisi geografis yang demikian, pada gilirannya membuat sebagian besar masyarakatnya memerlukan jalur1 sebagai alat transportasi Kemudian, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya. Selain itu, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun kemudian), jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol status sosial seseorang, tetapi diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh masyarakat stempat disebut sebagai “pacu jajur”.
Pada awalnya pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau Tahun Baru 1 Muharam. Ketika itu setiap perlombaan tidak selalu diikuti dengan pemberian hadiah. Artinya, ada kampung yang menyediakan hadiah dan ada yang tidak menyediakannya. Lomba yang tidak menyediakan hadiah diakhiri dengan acara makan bersama. Adapun jenis makanannya adalah makanan tradisional setempat, seperti: konji, godok, lopek, paniaran, lida kambing, dan buah golek. Sedangkan, lomba yang berhadiah, penyelenggara mesti menyediakan empat buah marewa2 yang ukurannya berbeda-beda. Juara I memperoleh ukuran yang besar dan juara IV memperoleh ukuran yang paling kecil. Namun, dewasa ini hadiah tidak lagi berupa marewa tetapi berupa hewan ternak (sapi, kerbau, atau kambing).
Ketika Belanda mulai memasuki daerah Riau (sekitar tahun 1905), tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, mereka memanfaatkan pacu jalur dalam merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap tanggal 31 Agustus. Akibatnya, pacu jalur tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam. Penduduk Teluk Kuantan malah menganggap setiap perayaan HUT Ratu Wilhelmina itu sebagai datangnya tahun baru. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada yang menyebut kegiatan pacu jalur sebagai pacu tambaru. Kegiatan pacu jalur sempat terhenti di zaman Jepang. Namun, pada masa kemerdekaan pacu jalur diadakan kembali secara rutin untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (17- Agustusan).
Pemain
Pacu jalur hanya dilakukan oleh para laki-laki yang berusia antara 15--40 tahun secara beregu. Setiap regu jumlah anggotanya antara 40--60 orang (bergantung dari ukuran jalur). Anggota sebuah jalur disebut anak pacu, terdiri atas: tukang kayu, tukang concang (komandan, pemberi aba-aba), tukang pinggang (juru mudi), tukang onjai (pemberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan) dan tukang tari yang membantu tukang onjai memberi tekanan yang seimbang agar jalur berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama. Selain pemain, dalam lomba pacu jalur juga ada wasit dan juri yang bertugas mengawasi jalannya perlombaan dan menetapkan pemenang.
Tempat Permainan
Pacu jalur biasanya dilakukan di Sungai Batang Kuantan. Sebagaimana telah dikatakan di atas, Sungai Batang Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu dan Kecamatan Cerenti di hilir, telah digunakan sebagai jalur pelayaran jalur sejak awal abad ke-17. Dan, di sungai ini pulalah perlombaan pacu jalur pertama kali dilakukan. Sedangkan, arena lomba pacu jalur bentuknya mengikuti aliran Sungai Batang Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km yang ditandai dengan tiga tiang pancang.
Peralatan Permainan
Peralatan permainan dalam pacu jalur, tentu saja adalah jalur yang dibuat dari batang kayu utuh, tanpa dibelah-belah, dipotong-potong atau disambung-sambung. Panjang jalur antara 25--30 meter, dengan lebar ruang bagian tengah 11,25 meter. Bagian-bagian jalur terdiri atas: (1) luan (haluan); (2) talingo (telinga depan); (3) panggar (tempat duduk); (4) pornik (lambung); (5) ruang timbo (tempat menimba air); (6) talingo belakang; (7) kamudi (tempat pengemudi); (8) lambai-lambai/selembayung (pegangan tukan onjor); (9) pandaro (bibit jalur); (10) ular-ular (tempat duduk pedayung); (11) selembayung (ujung jalur berukir); dan (13) panimbo (gayung air). Jalur dilengkapi pula dengan sebuah dayung untuk setiap pemain.
Bagian selembayung dan pinggir badan jalur biasanya berukir dan diberi warna semarak. Motifnya bermacam-macam seperti: sulur-suluran, geometris, ombak, buruk dan bahkan pesawat terbang. Tiap-tiap jalur mempunyai nama seperti: Naga Sakti, Gajah Tunggal, Rawang Udang, Kompe Berangin, Bomber, Pelita, Orde Baru, Raja Kinantan, Kibasan Nago Liar, Singa Kuantan Sungai Pinang, Dayung Serentak, Keramat Jati, Panggogar Alam, Tuah di Kampuang Godang di Rantau, Ratu Dewa dan lain-lain. Tujuan dari pengukiran, pewarnaan dan pemberian nama pada setiap jalur tersebut adalah agar dapat “tampil beda” dari yang lain.
Untuk dapat membuat sebuah jalur-lomba yang biasanya mewakili desa, kecamatan atau kabupaten, harus melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan banyak orang. Sebagai suatu proses, tentunya pembuatan jalur dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Berikut ini adalah tahap-tahap yang mesti dilakukan dalam pembuatan sebuah perahu yang oleh orang Kuantan Singingi disebut jalur.
Hal pertama yang dilakukan adalah menyusun rencana pembuatan jalur melalui musyawarah atau rapek kampung yang dihadiri oleh berbagai unsur seperti pemuka adat, cendekiawan, kaum ibu dan pemuda. Rapat ini biasanya dipimpin oleh seorang pemuka desa atau pemuka adat. Bila kesepakatan telah dicapai, maka kegiatan selanjutnya adalah memilih jenis kayu. Pohon yang dicari adalah banio atau kulim kuyiang yang panjangnya antara 25--30 meter dengan garis tengah antara 1½ --2 meter. Kedua jenis pohon tersebut disamping kuat, tahan air, juga dipercayai ada “penunggunya”. Setelah pohon yang memenuhi persyaratan ditentukan, maka penebangan pun dilakukan. Akan tetapi, sebelumnya diadakan semacam upacara persembahan kepada “penunggu” pohon agar pohon itu tidak hilang secara gaib.
Kayu yang sudah disemah oleh pawang, selanjutnya ditebang dengan kapak dan beliung. Setelah itu, kayu diabung (dipotong) ujungnya menurut ukuran tertentu sesuai dengan panjang jalur yang akan dibuat. Setelah diabung kedua ujungnya, kemudian kayu dikupas kulitnya dan diukir pada bagian haluan, telinga, dan lambung. Apabila jalur sudah terbentuk, maka langkah berikutnya adalah meratakan bagian depan (pendadan), yakni bagian atas kayu yang memanjang dari pangkal sampai ke ujung. Kemudian disusul dengan tahap mencaruk atau melubangi dan menghaluskan bagian dalam kayu dengan ketebalan tertentu. Selanjutnya menggaliak atau membalikkan dan menelungkupkan kembali jalur untuk dibentuk dan dihaluskan. Pekerjaan ini memerlukan perhitungan cermat sebab harus selalu menjaga ketebalan jalur agar dapat seimbang ketika berada di air. Cara mengukurnya antara lain dengan membuat lubang-lubang kakok atau bor yang kemudian ditutup lagi dengan semacam pasak. Setelah terbentuk, maka jalur dibalikkan kembali dan kemudian dilanjutkan dengan proses terakhir yaitu membuat haluan dan kemudi. Apabila haluan dan kemudi telah terbentuk, maka jalur akan dibawa ke kampung untuk diasapi dan disertai dengan upacara maelo jalur. Sebelum jalur diluncurkan ke sungai, ada suatu upacara lagi yang bertujuan agar jalur dapat berlayar dengan baik ketika sudah berada di air.
Aturan Permainan
Pacu jalur dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu: (1) pacu antarbanjar atau dusun; (2) pacu antardesa atau kelurahan; dan (3) pacu antarkecamatan yang ada di wilayah Kuantan Sengingi. Aturan dalam ketiga tingkatan perlombaan pacu jalur tersebut tergolong mudah, yaitu regu jalur yang dapat mencapai garis finish terlebih dahulu dari regu lain, dinyatakan sebagai pemenangnya. Pertandingan pacu jalur biasanya dilakukan dengan dua sistem yaitu: setengah kompetisi dan sistem gugur untuk menentukan pemenang pertama hingga keempat dan sepuluh besar.
Jalannya Permainan
Perlombaan, baik antardusun, antardesa, maupun antarkecamatan, diawali dengan membunyikan meriam. Meriam digunakan karena apabila memakai peluit tidak akan terdengar oleh peserta lomba, mengingat luasnya arena pacu dan banyaknya penonton yang menyaksikan perlombaan. Pada dentuman pertama jalur-jalur yang telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start dengan anggota setiap regu telah berada di dalam jalur. Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap (berjaga-jaga) untuk mengayuh dayung. Dan, setelah wasit membunyikan meriam untuk yang ketika kalinya, maka setiap regu akan bergegas mendayung melalui jalur lintasan yang telah ditentukan. Sebagai catatan, ukuran dan kapasitas jalur serta jumlah anak pacunya (peserta) dalam lomba ini tidak dipersoalkan, karena ada anggapan bahwa penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan kekuatan kesaktian sang pawang dalam “mengendalikan” jalur.
Dalam pertandingan jalur, apabila menerapkan sistem gugur, maka peserta yang kalah tidak boleh turut bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Namun apabila menggunakan sistem setengah kompetisi, setiap regu akan bermain beberapa kali dan pada akhirnya regu yang selalu menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya.
Nilai Budaya
Nilai budaya yang terkandung dalam pacu jalur adalah: kerja keras, ketangkasan, keuletan, kerja sama dan sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari semangat para pemain yang berusaha agar jalurnya dapat mendahului jalur regu lain. Nilai ketangkasan dan keuletan tercermin dari teknik-teknik yang dilakukan oleh anggota sebuah regu dalam menjalankan jalur agar dapat melaju dengan cepat dan tidak tenggelam. Nilai kerja sama tercermin dari anggota regu yang berusaha bersama-sama mengendalikan jalur agar dapat melaju cepat dan memenangkan perlombaan. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada


Pacu jalur adalah olahraga tradisional yang sudah membumi di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing - RIAU) sekitar 150 km dari kota Pekanbaru.


Berbagai cerita rakyat mewarnai dalam perkembangan sejarahnyanya. Salah satunya, soal cerita unsur magis yang menyertainya. Pacu jalur dilaksanakan sekali setahun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, dan atraksi ini telah ditetapkan sebagai salah satu event Pariwisata Nasional.


da tanggal 25 s/d 29 agustus 2007. untuk tahun 2008 ini pelaksanaannya akan dilaks Event ini selalu diadakan setiap tahun pada bulan agustus. Tanggal pelaksanaannya sekitar tanggal 23 s/d 27 agustus, namun tahun 2007 kemarin pelaksanaannya diundur paanakan mulai tanggal 16 s/d 20 agustus. Acara ini tidak hanya dimeriahkan oleh lomba pacu jalur pada siang hari saja,namun masih banyak hiburan yang juga ikut menyemarakkan event nasional ini bahkan hingga tengah malam kota telukkuantan boleh dikatakan masih ramai.biasanya pengunjung atau penonton tidak hanya dating dari kab.kuansing saja namun juga dari kabupaten dan kota yang ada di sumatera, ada juga yang dari pulau jawa dan dari Negara tetangga juga ikut ambil bagian dalam perlombaan tradisional ini seperti Malaysia.


Kegiatan-kegiatannya antara lain adalah :

a) Membuat Jalur
Pekerjaan membuat jalur tentulah tidak dapat dilakukan satu atau dua orang, melainkan memerlukan beberapa orang yang ahli dengan bantuan masyarakat, karena jalur yang dibuat adalah dalam ukuran besar, panjangnya 25-30 meter yang akan didayung oleh 50-60 orang.
Pekerjaan yang pertama sekali dilakukan adalah mencari bahan, yakni pohon kayu besar sekitar empat pemeluk (antara 45 meter lingkaran batangnya) diatur oleh seorang Paktuo dan Dukun Kayu. Setelah kayu didapat, pekerjaan berikutnya adalah upacara menobang (menebang) kayu yang diawali dengan malembe, yakni membaca doa dan mantra supaya pekerjaan itu berjalan lancar. Selesai itu barulah kayu mulai dicatuk, mulai dilukai. Catukan (kepingan kayu) diambil dan disimpan yang akan dipergunakan sebagai obat jika ada diantara pekerja pembuat jalur sakit. Setelah kayu ditebang dan dibersihkan, barulah pekerjaan membuat jalur dimulai dengan dipimpin oleh seorang Tukang Tuo, dibantu oleh Tukang Pengapik sebanyak dua atau tiga orang serta anggota masyarakat lainnya yang mau membantu dan pandai bertukang.

b) Menarik Jalur
Jalur baru siap separuhnya itu ditarik ke kampung dengan upacara khusus yang disebut menarik jalur. Jalur ditarik dengan mempergunakan rotan manau. Pekerjaan menarik (menghelo) jalur ini dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan wanitanya menyediakan makanan. Pada waktu itulah para pemuda dan pemudi dapat berdampingan bersenda gurau sambil ajuk mengajuk hati masing-masing. Bahkan, tidak jarang para pemuda turut pula menarik/menghelo jalur berdekatan dengan sang pemudi impiannya. Menarik jalur dari rimba ke kampung adalah pekerjaan yang tidak ringan, bukan saja karena jalur itu sangat berat tetapi jarak yang ditempuh cukup jauh, yakni lebih kurang sepuluh (10) kilometer.

c) Mendiang Jalur
Setelah jalur selesai dua pertiga, maka jalur itu perlu pula didiang (dipanaskan dengan api). Pekerjaan itupun dilakukan dengan upacara khusus pula dan dimeriahkan dengan berbagai atraksi kesenian masyarakatnya seperti : tari-tarian, bekayat nandong, gondang berogung dan lain sebagainya.

d) Menurunkan Jalur
Dalam menghadapi acara Pacu Jalur, Paktuo lah yang mengatur dan mempersiapkan segala kelengkapannya termasuk menentukan orang-orang yang turut berpacu di dalam jalur itu. Setelah semuanya siap, ditentukanlah ketika yang baik untuk menurunkan jalur itu ke sungai Kuantan. Pada hari dan ketika yang baik menurut dukun, jalurpun diturunkan beramai-ramai, kemudian diceburkan ke air.

e) Pacu Jalur
Pacu Jalur dipusatkan di Taluk Kuantan. Sebelum pembukaan di Taluk Kuantan, terlebih dahulu diadakan pula di Kecamatan Basrah acara Pacu Jalur Lokal, yang hanya diikuti oleh peserta dari Kecamatan Kuantan Hilir. Kebiasaan ini mulai timbul sejak tahun 1970, dan berlangsung sebelum tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Sedangkan Pacu Jalur dilakukan sesudah tanggal 17 Agustus tepatnya minggu ketiga atau keempat yang tersedia sambil menunggu giliran untuk berpacu. Dalam berpacu jalur, panduan rute yang harus dilalui oleh peserta pacuan, di tengah sungai diberi tanda berupa pancang sebagai pemisah lajur jalur panduan rute yang harus dilalui oleh peserta pacuan, di tengah sungai diberi tanda berupa pancang sebagai pemisah lajur jalur.
Pancang jumlah ada 4 (empat) buah yang memberi petunjuk :
- Pancang Mudiak (hulu tempat start)
- Pancang Tengah
- Pancang Akhir yang disebut juga pancang Ulak (hilir) tempat jalur kembali ke finishnya. Setelah berpacu, jalur-jalur itu dirapatkan ke tebing tempat hakim pacu menunggu. Pengumuman hakim siapa pemenangnya akan disambut tepuk sorak penonton.

Tidak ada komentar:

Gallery Foto