Mencari Idnetitas Negeri
Penulis: Pebri Mahmud Al-Hamidi)*
Pada saat diskusi dan debat kusir dengan teman-teman mahasiswa Kuansing di Asrama Mahasiswa Pacu Jalur Yogyakarta, sebagai orang yang agak senior (belum senior beneran soalnya masih banyak yang lebih super senior) saya selalu ditanya oleh teman-teman mahasiswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit saya jawab, dan sering kali saya terpojok…namun saya senang dengan budaya “maota” (diskusi), dari sini terlihat sifat kritis mereka terhadap realita sekarang, keingintauan mereka tinggi…mudah-mudahan mereka akan menjadi generasi pembaharu...hidup Mahasiswa!!!
Sekalipun saya sibuk dengan urusan kuliah S.2 saya , namun satu kali dalam seminggu saya luangkan waktu untuk teman-teman mahasiswa Kuansing untuk berdiskusi (“maota”). Pada suatu malam saya “maota” lagi dengan mereka, ada selentingan pertanyaan yang selalu mengusik benak saya “bang… kita orang Kuansing ini, sepertinya tidak punya identitas budaya, sebenarnya kita ini dari mana sih bang? Kalau bahasa kita mirip dengan bahasa Minang, tapi kita tidak mau di bilang orang Minang, kalau dikatakan kita orang Melayu… dari segi bahasa pun kita sangat jauh berbeda dengan mereka. Seni budaya Minang jelas karakternya, seni budaya Melayu pun jelas karakternya… lantas kita kok abu-abu?? Apa kita tidak punya karakter budaya sendiri?, spontan saya jawab “kita orang Kuantan” bukan Minang bukan Melayu.
Pada saat sekarang belum ada informasi yang akurat tentang asal orang yang berdomisili di sepanjang sungai kuantan, ada juga istilah bahwa orang Kuantan “Barajo ka Indragiri, Ba adat ka Minangkabau”. Istilah ini saya kira hanya karena fenomena budaya yang ada, seperti bahasa, adat, seni dan budaya. Namun disini saya ingin menyampaikan bahwa tombo adat Minangkabau yang sudah turun temurun diceritakan dari mulut ke mulut sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat saya. Dalam tombo adat Minangkabau, seakan-akan bahwa dulunya orang yang pertama kali menginjakkan kakinya di pulau ameh (Sumatra) adalah Maharajo dirajo (Sang Sapurba/Dapunta Hyang) yang kononnya berlayar di atas dandang nan sabuah dan berlabuh di atas puncak langgapuri yang katanya saat itu Gunung Merapi sebesar telor itik dan gunung Singgalang sebesar telor ayam. Dari puncak gunung merapilah nenek moyang Minangkabau turun kemudian menyebar sampai ke daerah kuantan. Untuk lebih jelasnya berikut saya tuliskan tombo adat (dalam bentuk sastra Minang klasik):
Dipanggang-panggang di gatok
dikirai-kirai dibaka
Tatangguak ikan gulamo
dibilang-bilang di atok
dikirai-kirai dipapa
dikambang si tambo lamo
Takalo maso dahulunyo
samusim maso saisuak
katiko langik basentak turun
bumi basentak naiak
lauik sacampak jalo
tanah darek balun lai leba
nan timbua gunuang merapi
Lorong di niniak moyang kito
asa usua kalau dikaji
didalam si tambo lamo
sapiah balahan tigo jurai
Sajurai ka banda cino
sajurai ka banda ruhum
sajurai ka pulau ameh nangko
Pihak di Sutan Marajo di Rajo
taniaik di dalam hati
tacinto dalam kiro-kiro
balayia inyo dimaso itu
di ateh dandang nan sabuah
cukuik jo cati bilang pandai
Dek lamo dandang balayia mak
didalam lauik baharullah
tampaklah api takijok-kijok
gunuang suaso maso itu
diateh puncak langgapuri
banamo gunuang marapi
Sinan sirangkak nan badangkang
sarato buayo putiah daguak
dibatu ampa putiah
di bukik ampa patigo
banamo bukik siguntang-guntang
Dimano titiak palito
dibaliak telong nan batali
dimano turun niniak kito
iyo di puncak gunuang merapi
(jadi nenek moyangnya sekuat mbah marijan kali…)
Basentak turun ka bawah
la tibo diguguak ampang
sinan lagundi nan baselo
sinan pulau bataratak
sabalun bakorong dengan kampuang
sabalun bakoto jo nagari
Maso badeta-deta upiah
maso bacawan panarahan
Dek lamo alam baputa
urang batambah kambang juo
kamanakan manjadi banyak
dibuek sawah jo ladang
dibuek adat dikarang undang
disusun tangkai ciek-ciek
dipaku katiang panjang
makanan urang tigo luhak
Manolah luhak nan tigo
nan tuo luhak Tanah Datar
nan tangah luhak Agam
nan bungsu luhak Lima Puluah
lalu karantau jo pasisia
alam surampi sungai pagu
Manuruik barih balabeh adat
nan salilik gunung merapi
saedaran gunuang pasaman
sajajaran sago jo singgalang
saputaran talang jo karinci
Dari sirangkak nan badangkang
hinggo buayo putiah daguak
sampai kapintu rajo hilia
durian ditakuak rajo
Sipiak pisau anyuik
sialang balantak basi
hinggo aia babaliak mudiak
sampai ka ombak nan badabuah
Sailiran batang sikilang
hinggo lauik nan sadidi
rao jo mapatungga sarato gunuang mahalintang
Pasisia banda sapuluah
hinggo taratak aia hitam
sampai ka tanjuang simalidu
pucuak jambi Sembilan lurah
Baik terlepas dari indahnya kata-kata sastra klasik tersebut, kita perlu menggali kebenaran berita yang dibawanya. Sebelum saya lanjutkan saya ingin menuliskan pepatah adat melayu berikut:
Mari mudiki sejarah ke hulu
dimana tersekat lekas elakkan
pusaka nenek yang dulu-dulu
sama dibuhul, sama diikatkan
sebaris tiada yang lupa
setitik tiada yang hilang
yang diarah, yang dicita
pegangan teguh malam dan siang
Sekarang kita tinjau maksud tombo adat Minangkabau tersebut. Tombo juga diartikan cerita, dalam cerita adat tersebut jelas-jelas menyatakan bahwa:
(1). nenek moyang orang Minangkabau adalah Maharajo dirajo yang berlabuh di atas Puncak Langgapuri gunung merapi (dengan anggapan bahwa pulau Sumatra masih tertutupi lautan) yang muncul dipermukaan Cuma daerah-daerah yang tinggi. (2) Mobilitas perkembangan penduduk dimulai dari gunung merapi kemudian terus turun kedaerah yang rendah mengikuti susutnya air laut (bumi basentak naiak, langik basentak turun) dan berkembang terus dan kemudia dibagi menjadi tiga luhak (wilayah) Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh. Kemudian ke rantau (daerah Kuantan, Kampar, Jambi) dan Pasisia banda sapuluah (sekarang Pesisir Selatan).
Menurut pendapat saya berita pada poin pertama (1) diatas adalah berita yang mengada-ngada dan dongengan orang-orang dahulu dan konon katanya pada saat berlabuhnya Sutan Marajo dirajo itu ketika banjir di zaman Nabi Nuh a.s. Tidak masuk akal, karena Nabi Nuh cuma membuat satu buah bahtera (kapal). Kalau kita tinjau dari segi ilmu astronomi dan geologi, bahwa dulunya ketika jagad raya ini terbentuk karena ledakan dahsyat. Pada awalnya suhu benda-benda langit termasuk bumi sangat panas, kemudian mendingin dan akhirnya air laut menyusut karena sebagian besar air membeku di kutub. Dan masa itu saya kira manusia (Adam dan Hawa) masih di sorga atau belum diciptakan. Jadi singkatnya berita pada poin pertama tersebut tidak dapat diterima secara ilmiah.
Berita yang ada poin kedua menurut saya itu adalah perkembangan kerajaan Minangkabau dan ekspansinya ke daerah-daerah sekitarnya (termasuk Kuantan, Jambi, dan Kampar). Nah!! Sekarang muncul pertanyaan “nenek moyang Minangkabau turun dari gunung Merapi jelas-jelas tidak masuk akal, sebenarnya mereka dari mana?”. Sebelum saya mengemukakan hipotesis saya saya akan mengutip penjelasan Buya Hamka yang di sampaikan dalam seminar Sejarah Riau yang di prakarsai oleh Universitas Riau pada tanggal 20 s.d 25 Mei 1975.
Dalam sejarah Sumatra bagian tengah ada beberapa masa dan kerajaan-kerajaan, diantaranya masa Pra Sriwijaya, Sriwijaya, Darmawangsa, Pagarruyung, Temasik, Riau, Lingga, Kandis dan Kuantan, Indragiri, Siak Sri Indrapura, dan beberapa kerajaan yang lainnya (Hamka, 1975). Tidaklah mudah bagi kita untuk mengetahui kebenaran sejarah perlu bukti yang kuat apakah itu dalam bentuk prasasti, candi, dan sebagainya. Buya Hamka dalam seminar tersebut hanya menjelaskan sejarah Islam di Sumatra Tengah dan tidak mengupas secara mendalam tentang sejarah pada masa zaman pra Sriwijaya, Sriwijaya, Kandis dan Kuantan.
Menurut Buya Hamka (1975) didalam mengkaji sejarah Riau seyogyanyalah kita insafi bahwa bangsa Melayu Riau yang tulen, Melayu Riau yang sejati, atau yang disebut Asli Melayu, sulit menemukannya seperti kata pepatah Melayu “mencari kutu dalam ijuk”. Mungkin yang asli Melayu hanya tinggalsuku-suku terbelakang yang masih hidup di hutan, sebagai Talang Mamak dan orang Kubu. Adapun yang dinamai orang Melayu Riau, di zaman kebesaran Imperium Melayu, sejak zaman Pasai, zaman Malaka, sampai zaman Riau termasuk Johor, bernama Melayu bukanlah karena keaslian darah, melainkan telah lama tinggal dibawah naungan panji raja-raja Melayu.
Bahkan raja itupun banyak pula yang bukan asli Melayu, melainkan dirajakan oleh orang Melayu. Orang Melayu Riau berasal dari suku-suku Melayu seluruh nusantara dan semenanjung yang kuat perkasa, yang suka mengembara mencari penghidupan. Mereka datang dari Malaka, Johor, dari seluruh Semeanjung, Bugis, pulau Bawean, Minangkabau, Banjar, dan Kepulauan Sulu (Filipina sekarang). Dari sini jelas bahwa orang Melayu adalah orang yang datang kemudian karena disebutkan juga bahwa orang Melayu juga ada yang datang dari Minangkabau. Namun Pertanyaan Saya “dari manakah datangnya orang Minangkabau?”. Belum terjawab.
Sekarang kita tinjau pendapat yang lain tentang sejarah Melayu dari situs melayu online (http://melayuonline.com/ ). Disana disebutkan bahwa sejarah Melayu mencakup dimensi yang luas, dengan rentang masa yang panjang. Jika kerajaan Kutai dianggap sebagai kerajaan tertua dalam kebudayaan Melayu, maka awal fase sejarah Melayu adalah sekitar abad ke-4 atau 5 M. Jejak-jekanya dapat dilacak melalui peninggalan sejarah, baik barupa manuskrip, prasasti, sejarah lisan maupun artefak. Dalam situs tersebut disebutkan bahwa sejarah Melayu dibagi dalam tiga kategori: sejarah tentang kerajaan, naskah sejarah, dan peninggalan sejarah, seperti candi, mesjid, istana maupun makam.
Kemudian kita kaji sejarah kerajaan yang ada di daerah Kuantan. Terdapat dua kerajaan yaitu kerajaan Kandis dan Kerajaan Kuantan.
Kerajaan Kandis
Tidak diketahui secara pasti, kapan berdirinya kerajaan Kandis. Yang pasti, kerajaan ini memang ada dan merupakan kerajaan tua yang keberadaannya mendahului Kuantan. Dalam kitab Negara Kertagama, terdapat nama-nama daerah di Sumatra yang termasuk dalam Kerajaan Majapahit. Kandis merupakan salah satu daerah yang disebut.Ibukota kerajaan Kandis diperkirakan berada di desa Sangau (Kecamatan Kuantan Mudik) yang sekarang dinamakan Padang Candi. Menurut situs Melayu online Padang Candi sebagai bukti keberadaan kerajaan Kandis pada masa dulu. Ditempat tersebut masih bisa ditemukan reruntuhan bangunan dan batu bata kuno. Diduga, batu bata tersebut merupakan reruntuhan candi pemujaan. Pendapat melayu online tersebut menurut saya tidaklah tepat Padang Candi yang dimaksud adalah dermaga atau pelabuhan dari Kerajaan Kandis, dan pusat Kerajaan Kandis sendiri berada di daerah Bukit Bertabuh, yang sampai saat ini masih belum ditemukan lokasinya.
Kandis merupakan sebuah kerajaan yang berdiri sendiri, karena daerahnya memang subur dan menghasilkan rempah-rempah, seperti lada. Tidak banyak yang dapat diketahui mengenai kerajaan Kandis ini, apalagi setelah dikalahkan oleh Jambi dan tidak diketahui secara pasti kapan serangan itu terjadi. Serangan dari Jambi itulah diperkirakan meruntuhkan kerajaan Kandis. Namun Kandis tidak lenyap begitu saja, karena kemudian muncul kerajaan Kuantan menggantikannya (melayu online).
Kerajaan Kuantan
Menurut Melayu online Kisah berdirinya kerajaan Kuantan bisa dirunut dari kisah perjalanan Sang Sapurba. Dalam perjalanannya untuk membangkitkan kembali bangsa Melayu, armada Sang Sapurba diba di Bintan. Disini ia menikahkan putranya, Sang Nila Utama dengan putrid kerajaan Bintan. Selanjutnya, Sang Sapurba kembali melanjutkan perjalanan kea rah barat daya untuk mencari tempat baru yang luas, dimana tempat bangsa Melayu. Akhirnya, armada Sang Sapurba sampai di muara sungai besar, yaitu Sungai Indragiri. Rombongan Sang Sapurba terus berlayar ke arah hulu sungai, hingga suatu ketika, rombongannya kehabisan air, sementara air sungai masih terasa asin. Kemudian Sang Sapurba memerintahkan pengikutnya agar membuat lingkaran rotan seukuran perisai besar. Setelah rotan tersebut jadi, Sang Sapurba meletakkannya diatas permukaan air sungai yang asin, kemudian mencelupkan kakinya kedalam lingkaran rotan tersebut. Tiba-tiba, air sungai yang semula asin berubah menjadi tawar. Konon, peristiwa tersebut terjadi didaerah Sapat, Indragiri Hilir. Rombongan Sang Sapurba mengambil perbekalan air secukupnya, kemudian kembali melanjutkan pelayaran menghulu Sungai Kuantan. Akhirnya, mereka sampai di pusat kerajaan Kuantan di Sintuo (desa Sangau Sekarang). Pada waktu itu kerajaan Kuantan tidak memiliki Raja. Oleh sebab itu kedatangan Sang Sapurba disambut gembira oleh Rakyat Kuantan, baik para pembesar, pemuka masyarakat, maupun rakyat jelata. Kemudian mereka mengangkat Sang Sapurba menjadi Raja, dengan persyaratan, Sang Sapurba bersedia membunuh Naga Sakti Muna yang telah merusak ladang milik rakyat.Sang Sapurba kemudian memerintahkan hulubalangnya, Pemasku Mambang untuk membunuh sang naga dengan berbekal sundang (pedang modern) pemberian Sang Sapurba. Hulubalang Permasku Mambang berhasil membunuh naga tersebut, sehingga Sang Sapurba diangkat menjadi raja di Kuantan dengan gelar “Trimurti Tri Buana”. Dengan Peristiwa ini, Kuantan kembali memiliki raja dan meneruskan warisan (dikutip dari melayu online).
Kerajaan Kandis menurut informasi tersebut terletak di Lubuk Jambi (Kecamatan Kuantan Mudik), sedangkan Kerajaan Kuantan berpusat di Koto Tuo Seberang Teluk Kuantan. Sekarang kita kembali ke pertanyaan semula “orang Kuantan asli/tulen datangnya dari mana?”. Berdasarkan kisah tersebut di atas orang Kuantan asli bukan berasal dari Melayu ataupun Minangkabau. Sebenarnya keberadaan Kerajaan Kandis yang sampai saat ini keturunannya mewarisi peninggalan-peninggalan Kandis masih ada. Fakta ini akan bisa diungkap dan dipublikasikan jika ingin diketahui kebenarannya oleh Riau bahkan Sumatra secara umum harus ada kejujuran dan komitmen dari pihak-pihak yang terkait untuk mengungkap secara jujur tentang Kandis yang sebenarnya.
Sebagai jawaban pertanyaan adik-adik Mahasiswa Kuantan Singingi yang ada di Yogyakarta, bahwa kita orang Kuantan bukan berasal dari Minangkabau, dan bukan berasal dari Melayu. Menurut sejarah Kandis yang sebenarnya adalah bahwa “Kandis adalah Kerajaan Tertua di Sumatra” menurut cerita yang turun temurun di kalangan keturunan Kandis bahwa kerajaan Kandis itu sudah ada sejak abad ke 2 Masehi, jauh sebelum kerajaan Kutai, Pagarruyung dan kerajaan lainnya. Istilah dalam tombo adat Minagkabau “Gunung Merapi sebesar telur itik, dan gunung Singgalang sebesar telur ayam” itu di lihat di puncak bukit yang tertinggi didaerah Bukit Bertabuh tak jauh dari pusat Kerajaan Kandis. Jadi sebelum semuanya terbukti (bukan hanya sekedar cerita), perlu melakukan penelitian bidang Arkeologi atau benda-benda purbakala. Hipotesis saya adalah bahwa nenek moyang kita lah (orang Kuantan) yang sebenarnya memulai peradaban di Pulau Sumatra (yang sudah sering berganti nama: Pulau Perca, Pulau Swarna dwipa, Pulau Emas, Pulau Andalas, dan sekarang Pulau Sumatra). Semoga jawaban ini dapat memberikan gambaran, bahwa kita mempunyai karakter budaya sendiri.
Semoga kebenaran ini akan terbukti dengan fakta-fakta ilmiah. Bagi Saudara-saudara yang mendalami Ilmu Arkeologi saya kira suatu kesempatan emas untuk membuktikan masa lalu negeri kita.
Selamat Datang Di Web Komunikasi Mahasiswa Benai
Selamat datang di portal komunikasi pemuda dan mahasiswa Kecamatan Benai (IPMKB) Pekanbaru. Revolusi informasi memberikan kemudahan bagi setiap kita umumnya ataupun sebuah organisasi khususnya dalam berkomunikasi dan menyampaikan informasi yang cepat dan accessible. Portal Komunikasi ini dibuat semata hanya mensupport luasnya bidang gerak bagi IPMKB dalam mempromosikan agenda kegiatan kepada IPMKB'ers dimanapun berada. Terakhir admin berharap saran - saran dan masukan dari rekan - rekan sekalian terhadap kemajuan portal ini. Salam persahabatan & Selamat berjuang IPMKB'ers...!!!
IPMKB SEBAGAI GENERASI Civil of Responsibility oleh: Heri Indra Putra
Perguruan tinggi sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi yang menghimpun Mahasiswa sebagai peserta didik di dalamnya, memiliki tanggung jawab moral dalam menciptakan suatu kondisi yang dinamis bagi berlangsungnya suasana kondusif di kehidupan masyarakat. Betapa tidak, perguruan tinggi diharapkan akan mampu melahirkan para pemikir, insan cita dan cipta yang kelak akan memberikan input yang positif dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk menciptakan insan intelektual (mahasiswa) yang berkepribadian dan berdedikasi tinggi terhadap kepentingan masyarakat, bukan sosok mahasiswa dengan pemahaman yang fragmatis dan oportunis. Artinya perguruan tinggi sebagai tempat berlangsungnya “learning process” berfungsi juga sebagai wahana pembentukan pribadi mahasiswa sebagai “agent of change” dan “agent of social control” di tengah-tengah masyarakat.
Sehingga perguruan tinggi selayaknya tidak hanya menyelenggarakan kegiatan akademis di ruang perkuliahan semata. Namun lebih dari itu, perguruan tinggi juga diharapkan mampu melahirkan insan-insan intelektual yang selain berwawasan luas dan visioner, juga memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat (Civil of Responsibility).
Mahasiswa sebagai salah satu komponen pembentuk masyarakat harus senantiasa meningkatkan kapabilitasnya agar dapat memberikan kontribusi positif dalam masyarakatnya. Mahasiswa harus mampu mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat demi perubahan komunitas masyarakat yang lebih baik. Serta senantiasa merespon setiap dinamika yang terjadi secara arif serta mengarahkannya pada perkembangan komunitas mayarakat yang lebih “dewasa”.
IPMKB adalah Ikatan Pemuda Mahasiswa Kecamatan Benai. IPMKB merupakan wadah untuk menampung dan mengembangkan kreatifitas dan aktifitas mahasiswa Kecamatan Benai yang ada di perguruan tinggi negeri maupun swasta serta pemuda Kecamatan Benai dimana pun berada, dan juga ikut memberi kontribusi pemikiran kontributif terhadap pengembangan dan pembangunan Kecamatan Benai khususnya dan Kabupaten Kuantan Singingi dan Provinsi Riau umumnya.
Sejalan dengan tujuan dan cita-cita IPMKB didirikan, Yaitu agar kawan – kawan Pemuda dan Mahasiswa yang ada didalam wadah ini segera mendapatkan informasi yang berkembang di daerah dan saling bertukar pikiran serta meningkatkan sumber daya manusia. IPMKB berusaha melahirkan generasi yang berwawasan berintelektulitas tinggi sehingga siap terjun ketengah-tengah masyarakat. Dan juga diharapkan dapat membela hak-hak masyarakat Kecamatan Benai dan Kabupaten Kuantan Singingi dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemakmuran di Kecematan Benai dan Kabupaten Kuantan Singingi serta peka terhadap perkembangan zaman.
Pergerakan mahasiswa selalu menemukan momentum yang berbeda dari tiap zaman, tiap waktu memiliki tantangan dan tekanan yang berbeda, namun disitu ada kesamaan motif, yaitu moralitas dan idealisme. Dua hal yang menjadi prinsip selama hidup, bukan sementara saat di kampus, manakala masih di bangku kuliah saja. Selama di kampus, bisa saja- atau umumnya-, metodenya kolektif, dan ketika sudah lulus, metodenya lebih bersifat individual.
Hal krusial yang seharusnya dipikirkan adalah kaderisasi.Yang menarik, kalau dirunut kebelakang akar kata kaderisasi itu sendiri sesungguhnya tidak asli lokal. "Kader" adalah peng-Indonesiaan kata "cadre" kata Perancis yang berasal dari Italia "quadro" yang berasal dari Latin "quadrum" yang berarti segi empat atau bujur sangkar. Salah satu definisi atu arti kata "cadre" ini adalah "a nucleus or core group especially of trained personnel
able to assume control and to train others" yang kelihatannya cocok dengan
pengertian secara umum di Indonesia.
Kaderisasi adalah proses pendidikan jangka panjang untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada seorang kader. Siapakah kader? Kader adalah anggota, penerus organisasi. Nilai-nilai apa? Nilai-nilai yang diyakini bersama sebagai pembentuk watak dan karakter organisasi. Organisasi, apapun itu mutlak mensyaratkan kaderisasi. Kecuali bila organisasi anda adalah organisasi diri sendiri, yang anggotanya anda sendiri. Organisasi terpimpin sekalipun, dimana si Ketua menjadi Ketua sepanjang hidupnya tetap saja membutuhkan regenerasi untuk rekan kerjanya. Sebuah organisasi dapat kita analogikan sebagai sebuah bangunan. Sebuah bangunan tentunya harus memiliki pondasi yang kuat agar bangunan tersebut dapat tetap kokoh. Dalam sebuah organisasi salah satu pondasi yang diprelukan adalah kaderisasi dan budaya organisasi.
Budaya dalam suatu organisasi pada hakekatnya mengarah pada perilaku-perilaku yang dianggap tepat, mengikat dan memotivasi setiap individu yang ada di dalamnya dan mengerahkan pada upaya mencari penyelesaian dalam situasi yang ambigu (Turner,1994). Pengertian ini memberi dasar pemikiran bahwa setiap individu yang terlibat di dalamnya akan bersama-sama berusaha menciptakan kondisi kerja yang ideal agar tercipta suasana yang mendukung bagi upaya pencapaian tujuan yang diharapkan.. Sumber utama budaya organisasi pada awalnya adalah pemilik, pendiri dan/atau pemimpin yang pertama, karena mereka inilah yang pertama-tama menentukan misi, visi, strategi, filosofi, dan nilai-nilai yang dianut oleh organisasi. Dengan demikian dapat dipahami bagaimana pemimpin memiliki pengaruh besar karena harus dapat bertindak sebagai model bagi terciptanya budaya organisasi yang akan berpengaruh terhadap usaha pencapaian tujuan organisasi IPMKB.
Inefisiensi pengelolaan sebuah organisasi sering diawali dengan tidak atau kurang patuh dan konsistennya beberapa pengurus dalam melaksanakan tugas. Kesalahan dan kegagalan kerja yang terjadi sering sulit ditelusuri penyebabnya karena semua orang mencoba menjelaskan bahwa dirinya bukanlah pelaku dari sebuah proses yang gagal. Sebaliknya, keberhasilan dengan mudah diakui sebagai prestasi diri karena seseorang bisa menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut merupakan bagian dari ruang lingkup tugasnya. Sering kali sebuah proses dikerjakan oleh seseorang atau sebuah unit kerja yang secara struktur organisasi dan uraian tugas bukan pemilik dari proses tersebut (process owner), sebaliknya sering pula sebuah tugas tidak ada pemiliknya. Hal tersebut biasanya diakibatkan oleh kurangnya pengendalian dan terabaikannya pengawasan terhadap penerapan sistem dan prosedur tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama. Sehingga diperlukan perilaku IPMKB’ers yang mempunyai satu kesatuan komitmen dalam berbuat dan berfikir serta bertindak sesuai dengan kondisi masyarakat dan disiplin ilmu, profesionalitas, regenerasi dalam rangka mensukseskan pembangunan Kecamatan Benai.
11 September 2008
Orang Kuantan: Minang Kabau atau Melayu Riau?
Labels:
esai budaya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
15 komentar:
Saya setuju saja anda berpendapat bahwa orang Kuantan adalah suatu suku tersendiri yang bukan termasuk Suku Melayu Riau ataupun Minangkabau. Karena itu adalah hak setiap orang untuk berpendapat dan meyakininya selama didukung fakta dan data yang menunjang. Bisa dimengerti anda berpendapat seperti itu karena saat ini orang Kuantan merasa termarginalisasi dalam suatu kedaaan yang tidak ideal. Daerah dan masyarakat Kuantan menjadi suatu enclave minoritas dalam suatu budaya mayoritas Melayu di Provinsi Riau. Pendapat umum menyatakan bahwa Provinsi Riau adalah Tanah Melayu adalah tidak salah. Mayoritas Provinsi ini dihuni oleh suku Melayu sejak zaman dahulunya. Provinsi Riau dalam setiap event dan media informasi selalu mempromosikan Etnis Melayu yang membentuk Provinsi ini.
Suatu kenyataan yang lazim pada suatu wilayah atau bangsa yang cenderung homogen adalah kurang dipromosikan keberadaan minoritas sebagai salah satu unsur pendukungnya. Sekalipun tidak dimatikan potensi keunikan budaya, adat, dan bahasa minoritas, cenderung tidak mendapat tempat yang sejajar dengan mayoritas. Umumnya kederadaan minoritas lebih diposisikan sebagai suatu entitas tersendiri yang berada di bawah naungan unsur mayoritas. Lebih umum mereka selalu diakui dan dipublikasikan sebagai varian dari unsur Mayoritas atau bagian dari budaya mayoritas. Begitu juga dengan kasus Kuantan telah lama terpublikasikan sebagai varian etnis, budaya, adat, dan bahasa daerah termasuk bagian dari Melayu Riau. Pemegang kekuasaan mayoritas dimana saja memang seharusnya bersikap begitu yang menunjukkan kebijaksanaan dan toleransi kepada minoritas dalam wilayah mereka.
Tentu saja saya juga boleh berpendapat lain dengan anda. Perbedaan adalah suatu karunia dari Allah yang harus disyukuri karena merupakan salah satu tanda bagi orang yang berfikir. Tidak perlu dipertentangkan apalagi sampai menjurus ke dalam polemik yang akan menimbulkan efek negative yang lebih jauh.
Pada dasarnya saya setuju dengan pendapat anda yang mengatakan bahwa secara adat istiadat, budaya, dan bahasa daerah masyarakat Kuantan secara general lebih dekat dengan Minangkabau daripada dengan Melayu Riau. Keberatan anda hanya pada unsur etnis Kuantan yang anda posisikan sebagai suatu etnis tersendiri di antara 2 etnis besar di seklilingnya yaitu Etnis Melayu Riau dan Etnis Minangkabau di Sumatera Barat.
Saya bukan sejahrawan, ahli etnologis, ataupun pakar antropogis dalam bidang kebudayaan. Saya hanya mengambil pendapat para ahli secara umum yang menyatakan bahwa kesamaan ataupun kemiripan varian adat, budaya, dan bahasa daerah menunjukkan indikasi adanya kesamaan sejarah suatu daerah yang diteliti. Dalam hal ini adalah daerah Kuantan dengan Minangkabau. Mengacu pada sejarah di masa lampau dengan minimnya data dan peninggalan sejarah berbentuk physic menjadikan beberapa kendala untuk menyatukan persepsi. Salah satu catatan sejarah yang saya rujuk adalah keterangan yang tertulis dalam Tambo Minang.
Dalam Tambo Minang dituliskan bahwa salah satu daerah penyebaran rantau orang Minang mencapai wilayah hulu Sungai Kuantan. Para perantau Minang ini umumnya tetap mempertahankan berbagai unsur adat dan budaya yang mereka bawa dari tanah leluluhur mereka dahulu. Penyebaran mereka dilakukan secara bertahap dalam masa yang cukup panjang. Mungkin saja perjalanan tersebut meluas hingga ke wilayah lebih hilir akan tetapi tidak meninggalkan banyak bekas sejarah karena tidak bisa mendominasi. Daerah sepanjang aliran ke hilir Sungai Kuantan hingga ke Selat Malaka sebagaimana diketahui dalam catatan sejarah sudah didiami oleh kelompok mayoritas masyarakat Suku Melayu.
Daerah Kuantan menurut sejarahnya merupakan salah satu jalur awal penyebaran rantau orang Minang ke arah Pesisir Timur Sumatera menuju ke Selat Malaka. Jalur yang ditempuh adalah melewati darat dari Darmasraya, Sawahlunto, Sijunjung, dsb, menuju hulu Sungai Kuantan di sebelah Timur. Di sini sebagian diantaranya bermukim dan masih mempertahankan budaya Minang hingga saat ini. Itulah suku Kuantan saat ini.
Selanjutnya para perantau yang datang kemudian dari arah Barat memanfaatkan alur sungai Kuantan menuju ke arah hilir. Mereka melewati daerah-daerah yang dihuni oleh suku Melayu yang berorientasi Pesisir Timur Pulau Sumatera hingga mencapai Selat Malaka. Umumnya tujuan perantau Minang ini adalah untuk berdagang, di samping itu juga ada yang berdakwah, dan menetap ke daerah-daerah di Semenanjung Malaya. Tidak sedikit juga yang menuju ke Pulau Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Philipina, dan sebagainya melewati jalur ini. Hal ini berlangsung selama berabad-abad sehingga menjadikan posisi sungai Kuantan sangat strategis bagi jalur pelayaran suku Minang menuju ke Selat Malaka. Karena itulah daerah Kuantan Hulu berbeda dengan daerah Indragiri yang sejak dahulunya didiami oleh suku Melayu.
Pada zaman penjajahan Belanda, wilayah Kuantan sepenuhnya dimasukkan ke dalam Keresidenan Riouw (Riau). Pertimbangannya adalah geostrategis kesatuan wilayah aliran Sungai Kuantan yang bermuara ke Pesisir Timur Pulau Sumatera di Selat Malaka. Penyatuan seperti ini dimaksudkan untuk memudahkan kepentingan kontrol penguasaan wilayah kolonial. Dengan unifikasi tidak terjadi benturan dan overlapping untuk suatu wilayah geografis yang dialiri Sungai Kuantan dengan Keresidenan lain (Keresidenan Sumatera Westkust dan Keresidenan Djambi). Lebih lanjut Belanda menggabungkan daerah ini dengan beberapa daerah lain yang dominan bersuku Melayu Riau dalam suatu system pemerintahan Kewedanan di bawah Keresidenan Riau.
Belanda mengabaikan fakta letak daerah Kuantan yang terletak di pedalaman Sumatera yang sebetulnya secara geografis sudah lebih dekat ke pesisir Barat Pulau Sumatera. Belanda mengesampingkan kenyataan perbedaan budaya, adat istiadat, dan dialek bahasa lokal etnis Kuantan yang berbudaya Minang dan memisahkannya dari kesatuan rumpunnya di bagian Barat. Faktor geopolitis dan strategis militer menjadi dasar kebijakan memasukkan daerah Kuantan ke dalam Keresidenan Riau bukan ke dalam Keresidenan Sumatera Barat. Akibatnya secara hukum dan adminitrative wilayah Kuantan terpisah dari daerah-daerah tetangganya di bagian Barat (Sawahlunto, Sijunjung, dan Darmasraya) yang dimasukkan ke dalam Keresidenan Sumatera’s Westkust.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Belanda kepada daerah Kampar Hulu yang beretnis dan berbudaya Minang. Daerah ini juga dianeksasi ke dalam wilayah Keresidenan Riau. Tanah Kampar Hulu secara geografis sebetulnya juga lebih dekat ke arah Pesisir Barat Sumatera. Akan tetapi Belanda tetap menggabungkannya ke dalam Keresidenan Riouw (Riau) yang lebih berorientasi ke Pesisir Timur Sumatera. Pertimbangan utamanya juga sama yakni kesatuan wilayah sepanjang aliran Sungai Kampar dan Sungai Rokan yang berhulu di sekitar wilayah Kampar dan berhilir di Pesisir Timur Sumatera di Perairan Selat Malaka. Dalam hal ini Belanda menggabungkannya dengan beberapa daerah yang bersuku Melayu Siak, Pelelawan, dan Rokan Hulu dengan nama Kewedanan Kampar di bawah administrative Keresidenan Riouw.
Belanda mengesampingkan fakta perbedaan etnis, budaya, adat istiadat, dan bahasa lokal etnis Kampar Hulu yang kental berbudaya Minang. Secara geografis diakui bahwa wilayah Kampar Hulu berbatasan alam dengan wilayah Minang lainnya di sebelah Barat (Kewedanan Lima Puluh Koto) oleh jejeran Bukit Barisan yang melintang dari arah Utara ke Selatan sepanjang Pulau Sumatera. Akan tetapi secara de facto kedua wilayah ini memiliki rumpun etnis, dialek bahasa, adat istiadat dan budaya yang sama yaitu Minangkabau. Kenyataan ini tidak menghalangi kekuasaan kolonial Pemerintah Hindia Belanda untuk membagi wilayah berdasarkan konsep political strategis dan regional sentris yang tidak memperhatikan kesatuan etnosentris dan kultural masyarakatnya.
Kondisi tersebut berlangsung hingga masa Penjajahan Jepang dan masa mendekati kemerdekaan Republik Indonesia. Pada masa awal Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, seluruh wilayah Pulau Sumatera, Kepulauan di Selat Malaka dan di Laut China Selatan ex Jajahan Belanda, dan Kepulauan di sebelah Barat pesisir Pulau Sumatera di Samudera Hindia, disatukan dalam suatu Provinsi yang bernama Provinsi Sumatera berpusat di Medan.
Selanjutnya setelah melewati fase perjuangan physic mempertahankan kemerdekaan, Provinsi Sumatera akhirnya dipecah menjadi 3 Provinsi dengan pertimbangannya untuk efektivitas pemerintahan daerah. Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 10/1948 yang membagi Provinsi Sumatera menjadi 3 Provinsi, yakni Prov. Sumatera Utara, Prov. Sumatera Tengah dan Prov. Sumatera Selatan.
Pasca pemekaran Provinsi Sumatera, wilayah Kuatan dan Kampar termasuk dalam wilayah Provinsi baru yang bernama Provinsi Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi. Provinsi Sumatera Tengah ini meliputi wilayah bagian tengah Pulau Sumatera dari pesisir Barat Ranah Minang eks Keresidenan (Gouvernement) Sumatra’s Westkust (Sumatera Barat) hingga ke Pesisir Timur Pulau Sumatera di Tanah Melayu eks Keresidenan Riouw (Riau) dan Tanah Melayu eks Keresidenan Djambi (Jambi). Pada masa ini kedua wilayah Minang ini kembali bersatu secara administrative, cultural, dan etnis dengan daerah berbudaya Minang lainnya sejak dipisahkan oleh Penjajah selama beberapa decade.
Selanjutnya Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 25). Dalam Undang-undang pembentukan daerah swatantra tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, J.o. Lembaran Negara No 75 tahun 1957. Khusus untuk daerah Swatantra Tingkat I Riau dalam Undang-undang tersebut ditetapkan meliputi wilayah daerah Swatantra tingkat II ;
1. Bengkalis
2. Kampar
3. Indragiri
4. Kepulauan Riau, termaktub dalam UU No. 12 tahun 1956 (L. Negara tahun 1956 No.25)
5. Kotaparaja Pekanbaru, termaktub dalam Undang-undang No. 8 tahun 1956 No. 19
Dalam Undang-undang tersebut Pemerintah Pusat menggunakan pendekatan berdasarkan peta sejarah wilayah ex Keresidenan Riau pada zaman Belanda. Karena di sini juga tampak bahwa aspek heterogenitas etnis dan budaya dalam wilayah yang dimasukkan ke dalam Swatantra TK. II Kampar (dan Kuantan) tidak dipertimbangkan.
Dalam perkembangan selanjutnya timbul conflict of interest dari berbagai etnis mayoritas yang ada di ketiga wilayah eks Keresidenan di Sumatera Tengah ini. Etnis Melayu Riau dan Melayu Jambi umumnya kurang senang dengan dominasi etnis Minang dalam segala aspek Pemerintahan Daerah. Pertentangan ini bermuara pada keinginan kedua daerah tersebut untuk memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Tengah. Gerakan ini dipelopori oleh kalangan elit etnis Melayu Riau dan Melayu Jambi yang tidak mendukung konsep pluralistik dalam kesatuan wilayah administrative. Berbagai upaya di tempuh untuk dapat melepaskan diri dan berdiri sebagai Provinsi sendiri yang diperjuangkan berdasarkan konsep territorial etnis dan budaya mayoritas.
Proses lahirnya ide dan konsep pemisahan diri Riau dari Provinsi Sumatera Tengah berawal dari satu gerakan pada tahun 1952. Gerakan ini mengharapkan agar Siak dapat kembali menjadi daerah swapraja sebagaimana pada masa sebelum kemerdekaan. Gerakan pemulihan status swapraja yang berpusat di Bengkalis ini dikendalikan dan dipelopori oleh sebagian tokoh-tokoh yang tidak begitu bersimpati terhadap Pemerintahan Zelf Bestuur dan ingin memulihkan swapraja Siak dengan status setingkat provinsi. Gagasan ini kemudaian diperjuangkan lewat berbagai program kegiatan, berupa kongres Tokoh Melayu, Kongres Pelajar, Kongres Partai dan perjuangan melalui Perlemen di tingkat Pusat.
Pada masa yang hampir bersamaan di wilayah Sumatera sedang bergolak aksi untuk menuntut hak-hak daerah yang dilakukan oleh gerakan PRRI yang dimotori oleh Dewan Banteng pimpinan Letkol Ahmad Husein yang berpusat di Bukittinggi. Gerakan koreksi kepada Pemerintah Pusat ini mendapat banyak dukungan dari masyarakat Sumatera, juga terutama Riau Daratan (Catatan-PRRI tidak mendapatkan dukungan di Kepulauan Riau). Meskipun ada beberapa golongan yang tidak mendukung pemberontakan, tetapi mereka mendukung tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh PRRI mengenai hak-hak daerah yang tertindas berupa pemerataan pembangunan dan bagi hasil yang lebih optimal. Upaya koreksi ini diartikan sebagai makar dan dissintegrasi oleh Pemerintah Pusat sehingga harus ditumpas.
Pada perkembangannya Pemerintah Pusat memutuskan untuk memberi status Provinsi kepada Riau dan Jambi untuk mengurangi kekuatan pemberontakan PRRI. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 75).
Pasca pemberontakan PRRI di akhir tahun 1958, keinginan melepaskan diri direspon Pemerintah Pusat dengan realisasi pemekaran Provinsi Sumatera Tengah Berdasarkan Undang-undang Nomor 61 Tahun 1958 Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 75), menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646). Intinya adalah pemecahan Provinsi Sumatera Tengah menjadi 3 Provinsi yakni : Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi. Perjuangan pembentukan Provinsi Riau ini menurut data sejarahnya berlangsung hampir 6 tahun (17 Nopember 1952 s/d 5 Maret 1958).
Catatan - Harus diakui masyarakat Sumatera Utara (tidak termasuk wilayah Aceh yang telah melepaskan diri) lebih arif dalam menerima kenyataan perbedaan etnis, budaya, bahasa, dan ditambah adanya perbedaan agama dalam suatu provinsi Sumatera Utara. Kesatuan wilayah Provinsi ini masih menyisakan 2 wilayah ex Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli.
Provinsi Sumatera Tengah tempat operasional Dewan Banteng mendapatkan konsekwensi paling berat sebagai hasil dari kegagalan PRRI. Tidak seperti Dewan Gajah yang berpusat di Medan (Prov. Sumatera Utara) dan Dewan Mahoni yang berpusat di Palembang (Prov. Sumatera Selatan), Prov. Sumatera Tengah langsung dibonsai dengan pembagian wilayah. Dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terjadinya clash action PRRI yang berpusat di Bukittinggi. Provinsi ini dipecah menjadi 3 yakni Prov. Sumatera Barat, Prov. Riau, dan Prov. Jambi.
Khusus untuk Sumatera Barat dikenakan sanksi lebih, diantaranya adalah berupa: Pelarangan nama ‘Minangkabau’ sebagai Nama Provinsi bagi wilayah yg dimasukkan ke dalam Provinsi ini melainkan diberi nama Provinsi Sumatera Barat (ex nama Keresidenan Zaman Belanda “Sumatera’s Westkust”). Berbeda dengan nama Provinsi Riau dan Jambi yang lebih mengindikasikan identitas etnis pendukungnya. Ini mungkin dimaksudkan sebagai upaya untuk melemahkan fanatisme dan ego kesukuan Minang yang sangat tinggi sebagai pengusung adat dan budaya demokrasi tertua di Indonesia.
Dihapuskannya system Kenegerian adat yang berlaku secara turun temurun dalam masyarakat Minangkabau sepanjang sejarahnya. Diganti dengan system pemerintahan yang berlaku secara Nasional dengan system Desa, Kelurahan, Kecamatan dst. (Hal ini berlangsung hingga masa Reformasi di akhir tahun 1998, dengan dikembalikannya system kenegerian di wilayah Provinsi Sumatera Barat).
Sumatera Barat mendapat bagian wilayah territory yg paling kecil dari ketiga Provinsi baru ini. Sumatera Barat melepaskan kesatuan beberapa wilayah Bersuku, Berbudaya, dan Berbahasa varian dialek Minangkabau kepada Provinsi lain. Wilayah Kampar (Bangkinang, V Koto, Taratak Buluh, dan sekitarnya) dan daerah Kuantan Sengigi dimasukkan ke dalam Provinsi Riau. Para Tokoh Melayu Riau jauh hari sebelumnya telah mengklaim wilayah yang diperjuangkan untuk menjadi Provinsi Riau adalah seluruh 4 daerah ex Keresidenan Riouw pada zaman Belanda yaitu Kampar, Bengkalis, Indragiri, dan Kepulauan Riau. Tentu saja tanah Kampar dan Kuantan sepenuhnya akan menjadi bagian Provinsi ini atas dasar klaim sejarah wilayah keresidenan. Pemerintah Pusat menyetujuinya.
Wilayah rantau Minang Kerinci yang termasuk dalam ex Keresidenan Sumatera Westkust dimasukkan ke dalam Provinsi Jambi untuk memenuhi tuntutan para tokoh Melayu Jambi yang menginginkan agar wilayah Kerinci dimasukkan ke dalam Provinsi ini. Klaim mereka didasarkan euphoria masa lalu Kesultanan Melayu Jambi dari pesisir Timur Sumatera yang pernah menguasai wilayah Kerinci dan pernah menjadi bagian dari Keresidenan Djambi sebelum tahun 1922. Tahun 1922 daerah Kerinci dikembalikan oleh Belanda kepada Keresidenan Sumatra’s Westkust dengan pertimbangan factor geopolitis yang lebih dekat dengan Keresidenan Sumatra’s Westkust.dan kesamaan etnis, budaya, dan dialek bahasa.
Kalau mau ditambahkan walaupun tidak relevan adalah daerah Muko-muko (sekarang termasuk Provinsi Bengkulu). Daerah berbudaya Rantau Minang ini sudah lebih dahulu dimasukkan Pemerintah Pusat ke dalam wilayah Prov. Sumatera Selatan pada awal pembagian Provinsi Sumatera menjadi 3 Provinsi. Dasarnya adalah sejarah wilayah Keresidenan Sumatera bagian Selatan pada zaman Hindia Belanda dan juga mengacu pada batas wilayah jajahan Inggris di daerah Bengkulu.
Semuanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat secara sepihak dengan Undang-undang tanpa pernah meminta persetujuan penduduk setempat melalui referendum atau plebisit. Para tokoh Minang di Pusat dan di daerah tidak bisa berbuat apa-apa terhadap berbagai ketidakadilan ini karena baru saja ditaklukkan sebagai ‘bangsa pesakitan kalah perang’. Moh. Hatta, Moh. Yamin, Sutan Syahrir, Moh. Natsir, Assa’at, Hamka, dsb, sangat menyayangkan hal ini, tapi tidak bisa menolak keputusan pemerintah. Selanjutnya terhadap seluruh wilayah ‘taklukan Pusat’ di ketiga Provinsi ini ditempatkan para pejabat pemerintah berlatar belakang militer yang terus berlangsung selama beberapa decade hingga masa Reformasi. Umumnya mereka diangkat atas dasar penunjukan ataupun pemilihan yang tidak bersifat demokrasi langsung oleh masyarakat setempat.
Suatu perandaian boleh saja dikemukakan sebagai suatu pendapat pribadi meskipun sudah tidak relevan lagi saat ini. Bila saja saat itu diberikan kesempatan bagi masyarakat tanpa tekanan politis darimanapun untuk memilih bergabung dengan Ranah Minang atau dengan Tanah Melayu Riau dan Tanah Melayu Jambi. Mungkin dapat dipastikan mayoritas mutlak masyarakat asli Kuantan, Kampar, dan Kerinci akan memilih bergabung dengan serumpun di Belahan Barat Sumatera Bagian Tengah yang kemudian menjadi Provinsi Sumatera Barat. Sayang hal tersebut tidak pernah terjadi. Yang pasti saat itu kondisi masyarakat masih jauh dari melek hukum dan politik karena terbatasnya sarana pendidikan, informasi, transportasi, dan masih jauh dari taraf kesejahteraan. Faktor politis menjadi pertimbangan Pemerintah Pusat untuk mengambil kebijakan yang sesuai menurut situasi saat itu.
Begitulah akhirnya masyarakat daerah Kuantan, Kampar dan juga Kerinci harus termarginalisasi kembali dalam suatu enclave wilayah yang berbeda dengan mayoritas. Terpinggirkan secara umum karena menyadari tidak akan bisa mendominasi kelompok mayoritas dalam segala aspek. Secara perlahan menyadari posisi mereka yang harus berhadapan dengan kenyataan sebagai minoritas yang berbeda dengan mayoritas sepanjang sejarah panjang ke depan. Pada akhirnya menimbulkan perasaan sentimen yang tidak bisa disuarakan.
Yang bisa dilakukan adalah mencoba bertahan mengindentikkan diri sebagai suatu kelompok etnis tersendiri yang berbeda. Mereka masih tetap berusaha bertahan atas dasar pengetahuan sejarah kekerabatan, kesamaan budaya dan etnis dengan daerah tetangganya yang termasuk dalam wilayah administrative lain. Sebagian ada yang mengalah agar diakui eksitensinya oleh kelompok mayoritas dengan menerima pendapat kelompok mayoritas yang cenderung mengklasifikasikan mereka sebagai bagian dari varian budaya mayoritas. Di sisi lain ada juga sebagian yang mencoba mengambil posisi di tengah yang tidak berpihak. Yakni dengan menyatakan sebagai suatu entitas etnis dan kultural tersendiri yang berbeda daripada keduanya.
Jadi wajar saja anda berpendapat seperti yang terakhir itu. Cukup beralasan dengan berbagai argumentasi data sejarah yang anda beberkan untuk memperkuat pendapat. Bagi kalangan intelektual dan terpelajar pendapat anda sangat appresiative. Merupakan suatu upaya yang sangat rasional dan dibenarkan secara ilmiah.
Kalau saya boleh menilai dari sisi lain, ada nuansa kebimbangan pada diri anda. Jauh di lubuk hati anda yang paling dalam ada perasaan gamang akan identitas diri yang sebetulnya sudah tahu persis harus mengatakan apa. Tapi anda malah berkata lain, menipu sanubari demi suatu kondisi yang tidak berani dikemukakan. Lebih tepatnya mungkin meminjam istilah saudara sebangsa kita di Jawa yakni perasaan ‘ewuh pakewuh’ sangat kuat merasuk bathin anda. Suatu keinginan akan pengakuan jati diri yang sukar didapatkan dari pihak luar dalam kenyataan. Ini juga lumrah terjadi dimana saja yaitu adanya perasaan sungkan terhadap pihak lain dan perasaan kurang etis untuk menyatakan suatu kondisi yang sebetulnya cukup jelas.
Perasaan itu juga terjadi akibat kekecewaan pada sejarah karena menyadari eksistensi berada di luar suatu kondisi ideal. Suatu kenyataan ‘faith accomply’ yang tidak bisa diungkap kata dan dilawan dengan perasaan. Akibatnya timbul perasaan malu dan minder untuk menyatakan diri sebagai bagian dari rumpun budaya induk yang berada di luar tersebut. Selanjutnya diupayakan untuk menghindari pernyataan tegas yang dapat membuat situasi menjadi lebih buruk alias lebih memilih status quo.
Sebetulnya tidaklah menjadi persoalan bila anda menyatakan bahwa Orang Kuantan adalah Orang Minangkabau yang daerahnya termasuk dalam wilayah administrative Provinsi Riau. Hal itu sangat objective dan memang didukung oleh sejarah masyarakat dan Daerah Kuatan. Kesamaan budaya, adat istiadat, dan kemiripan bahasa sudah menjadi factor yang cukup kuat untuk mendapatkan pengakuan. Rasanya tidak perlu mencari berbagai pembenaran lain karena secara umum, dimanapun kondisi seperti di atas sudah dapat dijadikan factor indikasi yang menguatkan. Kecondongan budaya, adat, dan dialek bahasa Kuantan sudah cukup jelas mengindikasikan rumpun asli definitive yang menjadi induk budayanya. Walaupun diakui tentu ada asimilasi etnis dan akulturasi budaya diantara keduanya.
Mengatakan Kuantan sebagai suatu etnis tersendiri dalam wilayah yang sangat kecil diantara 2 kelompok besar etnis (Melayu Riau dan Minangkabau) yang wilayahnya berbatasan langsung adalah suatu manipulasi fakta dan sejarah kepada public. Bahkan terkesan mengkerdilkan existensi etnis Kuantan. Seolah tidak lebih baik daripada kelompok suku primitive yang tidak jelas pengklasifikasiannya.
Menghubungkan dengan sejarah panjang seperti yang anda deskripsikan boleh-boleh saja. Akan tetapi anda akan terbentur pada keotentikan data sejarah dan arkeologis yang tidak comprehensive. Terlihat berbagai penafsiran subjective anda untuk mencoba menghubungkan rangkaian kisah yang belum ketemu benang emasnya bahkan oleh para sejarahwan dan arkeologi. Itu malah akan membatasi upaya pengungkapan objectivitas kisah sejarah Kuantan menjadi semakin abu-abu. Kecuali kalau memang ada unsur kesengajaan.
Tidak perlu malu mengakui kenyataan ini, karena memang itulah sesungguhnya. Orang –orang Kuantan dari generasi awal kemerdekaan yang masih ada dan kuat daya ingatnya akan sejarah masa lalu Kuantan umumnya mengatakan bahwa mereka adalah orang Minang atau setidaknya berkerabat dengan orang Minang di bagian Barat tanah Kuantan. Sebagai generasi kedua atau ketiga yang tidak merasakan peristiwa sejarah tidak perlu mencari versi cerita lain yang relative tidak dikenal sebelumnya. Apalagi disusupi kepentingan berupa misi lain ataupun karena factor subjectivitas pribadi, akan menjadikan terbeloknya fakta dan sejarah. Ini tentu saja tidak diharapkan. Dapat menimbulkan kesan pengingkaran sejarah dengan hipotetosa yang subjective. Akan sangat disayangkan bila dilandasasi motivasi yang bersifat irrasional sentimen, seperti perasaan malu, sungkan, minder, kurang percaya diri, ewuh pakewuh, dll.
Diakui sukar untuk dapat mengubah image dan pengetahuan umum masyarakat yang menyatakan bahwa Provinsi Riau selalu identik dengan Tanah dan Suku Melayu. Wajar saja pendapat seperti itu karena secara de jure dan de facto, Kuantan dan Kampar sudah lebih dari 50 tahun menjadi bagian tak terpisahkan dari Provinsi Riau. Bahkan sudah lebih lama lagi bila diperhitungkan masa Penjajahan Belanda dan Jepang sebelumnya.
Kita bisa mencoba memodifikasi sedikit saja terhadap image umum tersebut dengan mengatakan bahwa di Provinsi Riau juga ada beberapa daerah di perbatasan Barat yang dihuni oleh kelompok etnis minoritas rumpun Minangkabau. Daerah tersebut adalah Kuantan dan Kampar yang menjadi bagian Provinsi Riau sejak awal terbentuknya Provinsi di tahun 1958.
Dengan begitu kita tidak perlu menjadi malu dengan saudara serumpun kita di Negeri Sembilan Malaysia.. Penduduk Negeri Sembilan sampai saat ini selalu menyatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Minangkabau yang menetap di tanah Semenanjung Malaya. Keunikan budaya Minang mereka menjadi suatu yang sangat mereka banggakan di negeri Jiran tersebut. Bahasa mereka memang sudah berubah sepenuhnya menjadi Bahasa Melayu Malaysia, akan tetapi budaya dan adat istiadat Minangkabau tetap terpelihara dan masih digunakan dalam kehidupan bermasyarakatnya.
Begitu pula dengan saudara domestic kita di Pesisir Timur Sumatera di Tanah Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu Provinsi Sumatera Utara. Masih banyak yang mengakui sejarah mereka dari Keturunan Perantau Minangkabau. Dalam kesehariannya mereka sudah terabsorbsi sepenuhnya menjadi pendukung budaya Melayu Sumatera Timur bagian Selatan. Hal yang senada juga banyak ditemui pada penduduk Pesisir Utara Nanggroe Aceh Darussalam di sekitar Daerah Tapaktuan dan Meulaboh. Banyak dari mereka yang tetap mengaku sebagai keturunan perantau Minang ratusan tahun yang lalu. Kendati bahasa dan adat istiadat sehari-hari sudah berubah menjadi penutur Budaya Aceh yang sulit dibedakan dengan Suku Asli Aceh.
Anda tentu saja tidak sendiri menghadapi kegalauan ini. Kalau boleh saya beri contoh beberapa daerah di Indonesia yang kurang lebih bernasib sama dengan anda. Sama–sama termarginalisasi dalam suatu wilayah yang berbudaya cenderung berbeda dengan mereka. Umumnya mereka tidak mengubah jatidiri dengan merekayasa cerita sejarah.
Sebagian wilayah enclave Penutur Sunda Asli di Bagian Barat Kab. Cilacap (Wanareja, Majenang, Dayeuh Luhur) dan Bagian Barat Daya Kab. Brebes (Ketanggungan) dimasukkan dalam Provinsi Jawa Tengah karena terletak di sebelah Timur sungai yang menjadi batas Provinsi. Wilayah Cirebon dan Indramayu di pesisir Utara Pulau Jawa yang berbudaya Jawa dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat yang berbudaya Asli Sunda. Kabupaten Singkil, Kabupaten Gayo dan Alas yang berbudaya serumpun jauh dengan Batak dimasukkan ke dalam Provinsi Aceh. Wilayah ex Karesidenan Madiun, Keresidenan Kediri, dan Keresidenan Tuban yang lebih berorientasi budaya Mataraman Jawa Tengah dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Timur yang lebih dominant berbudaya Jawa Arek (Surabaya – Malang) dan Madura. Pulau Komodo yang mayoritas didiami oleh Suku Sumbawa dimasukkan ke dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Ada juga beberapa contoh kasus yang bersifat Internasional melewati trans lintas Negara, Budaya dan Bahasa Nasional yang berbeda. Terlepas dari factor sejarah unifikasi atau, aneksasi dengan daerah administrativenya saat ini. Diantaranya adalah : Daerah Patani (Pattani, Yala(Jala), Naratiwat, Songkla (Singora)) yang berbudaya Melayu dimasukkan ke dalam wilayah Thailand yang berbudaya Indochina-Siam. Wilayah Mongolia Dalam yang berbudaya Altaic dimasukkan ke dalam wilayah Negara China yang berbudaya Sino. Wilayah Sinkiang yang berbudaya Turki-Altaic dimasukkan ke dalam wilayah China yang berbudaya Sino. Wilayah Alsace-Lorrain yang berbudaya Germanic-allemanic dimasukkan ke dalam Negara Perancis yang berbudaya Latin, Wilayah Corsica dan Nice yang berbudaya Latino-Italia dimasukkan ke dalam wilayah Perancis yang berbudaya Latin-Gaullic. Wilayah Flemish Selatan yang berbudaya Germanic-Belanda dimasukkan ke dalam wilayah Perancis yang berbudaya Latin-Gaullic. Wilayah Transylvania yang berbudaya Altaic-Hungaric dimasukkan ke dalam wilayah Negara Rumania yang berbudaya Latin-Romanic. Wilayah Irlandia Utara yang berbudaya lebih dekat dengan Celtic-Irlandia dimasukkan ke dalam wilayah Inggris Raya yang berbudaya Germanic-Anglo Saxon. Pulau Aaland yang dihuni oleh etnis Germanic-Swedia berbudaya Nordic-German dimasukkan ke dalam wilayah Negara Finlandia yang berbudaya Altaic-Finland. Daerah Karelia yang berbudaya Altaic-Finland dimasukkan ke dalam wilayah Rusia yang berbudaya Slavic-Russia. Daerah Trentino Alto Adige yang berbudaya Germanic-Austria dimasukkan ke dalam wilayah Negara Italia yang berbudaya Latin-Italia. Daerah Sudetenland yang berbudaya Germanic-German dimasukkan ke dalam Negara Chekoslowakia yang berbudaya Slavic-Bohemia.
Dan saya pun aslinya berasal dari Taluk Kuantan…
Bersama Riau kita sudah cukup merasakan kemajuan dan peningkatan kesejahteraan. Bahkan relative sudah berada di atas rata-rata daerah lain di Indonesia. Pengungkapan suatu kenyataan sejarah dan jatidiri kita tidaklah harus menjadikan hilang kebanggaan dengan Provinsi Riau.
Benar, meskipun adat istiadatnya mirip dengan adat minangkabau, daerah-daerah bagian barat Riau sepeti Kampar, Rokan Hulu, Kuantan Sengingi oleh para budayawan, tetap mengklasifikasikan daerah-daerah ini sebagai daerah-daerah berhaluan budaya melayu Riau. Tepatnya masyarakat melayu Riau bagian hulu. (www.melayuonline.com) Dengan definisi secara luas yang menyatakan bahwa penduduk sumatera adalah orang melayu.
Adat,suku, dan budaya memang akan lebih sempit definisinya dikarenakan jika suatu daerah telah dipetakan sebagai wilayah hasil sebuah keputusan politik.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan yang pernah saya baca, ada pula faktor lain yang turut mempengaruhi cara pandang masyarakat. Pada zaman dahulu adat, budaya, dan cara berkehidupan suatu masyarakat atau etnis cenderung dipengaruhi dengan kemajuan dan kemenonjolan daripada di sekitar daerah itu sendiri.
Pada zaman dahulu, daerah-daerah dibagian hulu Riau, sangat dipengaruhi pula dengan budaya dan adat istiadat minangkabau (Pada saat itu Sumatera Tengah) yang pada saat itu Sumatera Barat cenderung lebih maju ketimbang Riau. Sehingga arah kebijakan masyarakat pada saat itu lebih condong ke arah Sumatera Barat.
Meskipun mirip, baik masyarakat Kampar,Rohul, dan Kuansing tidak pula ingin dikatakan sebagai orang Minang. Sejak dideklarasikannya provinsi Riau terlepas dari Sumatera tengah, rasa kebanggaan dan senasib,sejalan,menyatu dengan masyarakat Riau yang lain dan ikut berjuang mengatasnamakan Riau. Bangga sebagai identitas melayu.
Pasca otonomi daerah, Provinsi Riau saat ini semakin lama semakin maju. Tidak hanya dalam hal infrastruktur, begitu pula dalam bidang budaya, meskipun dalam kemajemukan ,Riau semakin menunjukkan jati diri sebagai ranah melayu, dengan mengangkat pula kembali seluruh budaya-budaya yang ada dalam 11 kabupaten/kota tersebut.Dalam hal ini Riau berusaha memperkenalkan sisi lain dari budaya melayu Riau yang termasuk dalam kelompok minoritas dan Melayu dalam artian yang luas.
Kita sering terjebak dengan emosi kesukuan, ooo dia orang Padang, ooo dia orang Jawa, ooo dia orang Batak dll. tetapi yang harus kita tanamkan apakah kita sama Muslim atau Mukmin tidak. Batasan ini skupnya lebih luas dalam kita menempuh kehidupan berbangsa dan bermasyarakat Indonesia. Kalau kita menggunakan 'terminal' ini, tidak berarti kita juga harus berbuat 'tidak' adil kepada kaum yang bukan Muslim atau Mukmin tersebut. Buktinya, kalau kita Muslim lalu 'mencuri' barang orang Non-Muslim, ya tetap saja kita berdosa dihadapan Tuhan, Allah SWT. Subhanallah, hebat ajaran Islam yang kita percayai ini. Karena itu. kita pulang ke akhirat tidak membawa pertanggungjawaban misi, ya kita Orang Minang, ya kita Orang Melayu, ya kita Orang Jawa atau ya kita Orang Indonesia dll. Saya, tetap berpendapat, jika itu saudara Muslim saya, ya silah maju terus sepanjang tidak merusak citra Islam dan Umat Islam.
USAHO TAMBAHAN SANAK
SANAK YANG ADO DIRANTAU JO KAMPUANG, KO GALEH NAN SABANA ,MURAH KARAJONYO, MURAH MODALNYA, TAK ADO RESIKONYO, BAYAK KEUNTUNGANNYO, DEK SANAK , JO KAWAN-KAWAN LAIN, GALEH KO DI PAKAI DEK URANG SATIOK HARI, LAH MARUPOKAN KEBUTUHAN SATIOK HARI DEK SANAK JO URANG LAIN, INDAK MANGGADUAH USAHO UTAMO, SAMBIE MANGOPI DILAPAU, GALEH KO BISA LAKU DI JUA ,UNTUAK LABIAH JALEHNYO SANAK Liek Blog Ambo di
http://padangcardcenter.bogspot.com/ KALAU SANAK BUTUH : ATRIBUT,PILKADA, KEMEJA, JAKET, TENDA, PERLENGKAPAN WISUDA, PROMOSI PERUSAHAAN, PAKAIAN, SEPATU, PDH, PDL , Klik nanti
Logo YANKONVEKSI Setelah buka blog diateh BAPAK IBUK GURU BUTUH
RPP SEMUA MATA PELAJARAN, Klik nanti MGMP PENJAS ORKES KOTA PADANG. Tarimo kasi atas meluangkan waktu melihat blog ku.
Kalain kaji dulu sejarah nya...
Jan ongok mandanga kecek urang tuo..
Kalian mungkin tahu PRRI nan tajadi di sumatra tengah Yang bapusat di sumbar kiniko...
Karano pusat takuik terjadilah pengkerdilan sumatra tengah nan disokong juo samo calon propinsi nyo nan kadipacah dek dikaranokan pembangunan ndak marato..
Sadangkan riau sedang menggalakan melayu yang sadang agak taganggu karano banyak nyo urang minang nan mamakai bahaso minang di p.baru..
mungkin disitulah ado kekecewaan mambuek anduang samo ungku kalian mambanci minang walaupun kalian sabana nyo basuku baradaik babahaso minang...
Tapi kalau ambo masih bangga manjadi minang ndak malu karano ambo pakai suku...
Malayu di kecek urang pun ambo tarimo toh malayu tu juo adonyo di sumbar juo dulunyo sebagai bukti ketajaan yang mengaku dirinyo banamo melayu kan malyu pura ndak ado kerajaan riau yang manyabuik namo nyo melayu ...
Orang kuantan jatuh dari langit langsung ke Kandis, dia bukan Melayu bukan minang
Jangan percaya pendapat orang barat dan Syiah yg ingin pecah belah kita, percayalah pada pendapat kakek buyutmu anak muda
Dulu nama nya bukanlah minang kabau itulah yang menjadi dilema kami melayu batubaro nenek moyang kami berasal dari padang bukan menang kabau ... ,, nenek moyang kami meski dari daerah padang mereka menyebut diri mereka orang melayu... Coba tanyak orang batu bara mereka semua mengaku melayu... Walau berasal dari padang... Mereka tak mengenal minang kabau
Orang kuantan adalah METAL (melayu taluk)
Batua sanak, di pakanbaru banyak yg mamakai bahaso minang, sbanta lai lah lah banyak lo pakai bahasa batak, dima melayu tu nyo? Percuma bangga jadi urang melayu kalau cuma menjadi minoritas di ibukota riau, dak ado guno manyabuim sejarah melayu ko paling lamo ato paliang okelah, awak caliak se keadaan kini
Maaf pak, saya orang padang lebih mengenal minang daripada melayu, anda terlalu berpikiran sempit, sebenarnya minang itu sendiri adalah bagian melayu, karena cakupan melayu itu luas, tapi kalo anda bilang orang padang tak kenal minang, anda salah, karena di padang sulit mencari orang yang mengaku melayu
Batua t sanak..
Jika gnung mrapi sbsar tlor itik brrti gnung kerinci sbesar ap donk...lbih gede donk psti
Sejak kapan padang menjadi acuan identitas orang minang??....aneh sekali anda ,padangpun menjadi sebuah kota ketika belanda membangunnya , sedangkan nama minangkabau jauh sudah ada sebelum pagaruyung berdiri....,justru sebaiknya bertanyalah anda , sejak kapan batubara berganti menjadi melayu , sejak kesultanan deli menekan perantau2 minangkabau untuk menghapus adat kesukuan sebagai penegasan kekuasan di kerajaannya , dan tanya siapa nama sultan deli tersebut...
Hanya karna berada di Riau, lantas tak mengaku lagi sbg Minangkabau...
Naif sekali kalian..
Posting Komentar